Setelah Ibu mertua terjangkit COVID-19, korban berikutnya adalah Bapak dan Mama gue sendiri. Rumornya, Bapak tertular dari salah satu staf di kantornya yang memaksakan diri untuk tetap masuk walau sedang dalam kondisi tidak fit.
Bapak melakukan isolasi mandiri di rumah. Mama tertular dari Bapak akibat close contact dengan Bapak dalam satu rumah. Yang melegakan dari kondisi Mama adalah ia tidak memiliki gejala apa pun: tidak demam, batuk, pilek, serta indra penciuman maupun pengecapannya masih berfungsi dengan normal.
Lain Mama, lain Bapak. Saturasi oksigen Bapak dalam kurun waktu sehari setelah dinyatakan positif menyentuh level kisaran 75 hingga 80. Napasnya perlahan tapi pasti sudah mulai terasa berat. Akhirnya, pihak puskesmas memutuskan untuk mencarikan Bapak rumah sakit agar segera dirawat inap dan dipasangkan oksigen. Dua hari kemudian, gue menjaga Bapak di rumah sakit. Iya, satu kamar dengan tiga pasien positif COVID-19 lainnya.
Kondisi Bapak semakin memprihatinkan. Napasnya payah, bahkan ia kesulitan untuk pergi ke kamar mandi demi sekadar buang air kecil atau buang air besar.
“Bapak Pasaribu, jangan berani coba-coba pergi ke toilet sendirian, bahaya itu,” ujar pasien sebelah bernama Pak Tonika.
“Oh, iya ya, Pak?”
“Kondisi Bapak sama seperti saya. Napas sesak. Jangankan jalan ke toilet, Pak, saya yang berak di pispot aja sambil jongkok, lantas kemudian berdiri kembali langsung engap-engapan.”
“Iya, Pak. Saya sendiri tidak sadar. Pas jalan pergi ke toilet tidak ada yang saya rasakan, tapi begitu terasa pas mau jalan balik ke tempat tidur kok rasa-rasanya napas ini tinggal setengah.”
“Nah, itu kan anak Pak Pasaribu sudah datang tuh. Baiknya segala buang air besar maupun buang air kecil di ranjang aja, Pak, menggunakan pispot.”
“Iya. Ini saya juga sudah titip anak saya untuk dibelikan pispot.”
Mendengarkan percakapan mereka berdua, gue hanya bisa menelan ludah. Glek. Kepala gue sudah memutar film pendek yang menampilkan sebuah adegan di mana gue tengah membersihkan eek dan pipis Bapak.
Gue menemani Bapak di RS kurang lebih selama tiga minggu. Ada dua pasien positif lainnya dalam satu kamar: Pak Tonika ditemani oleh adiknya, Pak Albukori ditemani istrinya, sementara Pak Pasaribu ditemani putranya, yaitu gue sendiri.
Kita saling menyimpan nomor WA masing-masing saat gue dan Bapak diperbolehkan untuk pulang terlebih dahulu. Sampai saat ini, kadang kalau ada waktu luang, kita saling menyempatkan diri untuk menanyakan kabar masing-masing, terlebih varian Delta sedang ganas-ganasnya sekarang. Gue bersyukur keduanya, baik Pak Tonika maupun Pak Albukori, masih baik-baik saja hingga saat ini.
Setelah Bapak keluar dari rumah sakit, tiga hari kemudian Pak Tonika dan adiknya diperbolehkan untuk pulang. Selepas keluar dari RS, Pak Tonika berinisiatif membeli tabung oksigen dengan maksud dipasang di dalam kamarnya. “Seandainya saya sesak lagi, saya tidak perlu ribet-ribet ke rumah sakit lagi, Pak,” ia menceritakan hal itu lewat pesan pendek WA ke gue. Prediksi Pak Tonika sangat tepat. Ia membeli tabung oksigen tersebut pada bulan Februari 2021 tanpa tahu bahwa lima bulan kemudian varian Delta meluluhlantakkan sistem kesehatan negara ini. Hampir semua rumah sakit kekurangan tabung oksigen akibat kepayahan menerima lonjakan pasien.
COVID-19 benar-benar menguras gue secara emosional. Mengetahui Bapak dan Mama positif COVID-19, yang bisa gue lakukan hanya tertegun sebentar, kemudian menangis terisak-isak di balik layar monitor kantor. Entah apa yang ada di dalam pikiran teman kantor bila melihat temannya yang berbobot 100 kilo dan berpostur besar seperti Ivan Gunawan ternyata bisa menangis sesenggukan seperti itu.
Pertanyaan yang hanya bergayutan di dalam kepala gue saat Bapak dan Mama dinyatakan positif COVID-19 adalah siapa yang akan menjaga mereka nanti. Kedua adik gue kebetulan kerja di Australia, dan gue memiliki kedua putri yang masih piyik-piyik.
Keputusan yang gue ambil untuk menjaga Bapak seorang diri di rumah sakit merupakan keputusan yang tidak mudah untuk gue ambil. Terlebih, keputusan itu awalnya sempat ditentang oleh beberapa keluarga besar. Hal ini karena mereka khawatir dengan nasib gue bila menjaga Bapak di rumah sakit. Ada banyak kecemasan yang bersarang di kepala mereka: bagaimana bila ujung-ujungnya gue yang terinfeksi dan malah mati lebih dulu? Lebih buruknya lagi, bagaimana setelah gue mati lebih dulu ternyata Bapak mati kemudian? Siapa yang akan merawat kedua putri gue nanti?
Di tengah kekalutan yang melanda, pikiran gue melambung pada sebuah ingatan saat gue memboncengi Ibu mertua yang positif COVID-19 bolak-balik ke rumah sakit dan puskesmas. Ibu mertua gue tidak henti-hentinya bicara dengan gue ketika di atas motor, ditambah masker yang dikenakannya kerap melorot-lorot sampai deret giginya terlihat. Namun, hasil antigen menunjukkan bahwa gue masih negatif: tidak tertular, sehat, kuat. Saat itu, gue merasa seperti Peter Parker yang habis digigit laba-laba radioaktif. Gue merasa punya super imun yang membikin gue tidak sakit bila berhubungan erat dengan orang positif COVID-19.
Keputusanuntuk pergi ke Rumah Sakit menemani Bapak merupakan keputusan paling tepat yang pernah gue ambil seumur hidup gue.
Terimakasih untuk Pak Tonika dan pak Albukori yang sudah setia menjadi teman bercerita selama di RS. Semoga kita dapat berjumpa kembali dalam kondisi sehat.
Tabik
Something that you need to know about this blog:
- I write this blog based on my true experiences
- The name of the characters on this blog is not real anymore (Except my own character), I change it due to avoid some feuds, lawsuits, or even dead threats to me, my cats, and my dogs.
- I dramatize and exaggerate some parts in order to make a good story with a good punchline so that you can laugh your ass off and say “Hey this blog is funny! I love it!”
- I write this blog mostly on Friday night and Saturday night. Why? because that’s what forever alone dude do.
Posted on July 25, 2021
0